By: Fahmi Permana@Smaters.depok
Belajar dan mengecap pendidikan di lembaga Al-Azhar pada umumnya, mulai tingkat menengah sampai perguruan tinggi, bagi kebanyakan Muslim Indonesia dianggap sebagai karunia yang besar. Bukan hanya kebanggaan yang menyelimuti hati para orang tua untuk mengantarkan anaknya belajar di luar negeri, melainkan karena kesohoran Al-Azhar yang telah berhasil mencetak para kader umat; ulama, pemimpin rakyat, pemikir, pejuang kemerdekaan yang telah tersohor namanya di Indonesia dan dunia Islam pada umumnya, selama berabad-abad. Tapi penulis sempat “ngadenge” ada semacam trend baru yang mendorong para orang tua Muslim mengirim anaknya melanjutkan studi di Al-Azhar-Mesir. Trend bahwa kesohoran Azhar yang tak tertandingi universitas manapun di dunia, tidak asing lagi. Itu mah tahshilul hashil kang!, kata barudak Persis yang ngelotok ushul fiqih-nya. Tapi kenyataan biaya kuliah mulai dari SPP hingga akomodasi (sewa kos, makan, ongkos, beli diktat) di Indonesia yang mahal kepalang tanggung membuat para ortu melirik lembaga-lembaga pendidikan alternatif, kalo bisa murah meriah!! Akhirnya setelah timbang sana sini, Al-Azhar nampaknya cukup menggiurkan; biaya murah (tanpa SPP dan akomodasi 50 $ setara Rp.450.000,- per bulan) plus nama Azhar yang sudah bonafid di mana-mana. Bahkan kabarnya sang ortu juga mendengar informasi peluang beasiswa yang ditawarkan lembaga-lemabaga Islam di Mesir dan Negara Teluk. Lengkap sudah, murah-meriah plus peluang cari beasiswa!!
Membludaknya mahasiswa baru asal Indonesia yang katanya mencapai angka 1000 lebih tahun ini, pasti akan menimbulkan dampak-dampak baru secara demografis baik geo-polotik (bertambahnya jumlah anggota organisasi kekeluargaan; artinya tambah jatah TemusJ), sosial-ekonomi (cari rumah sewa yang cukup sulit dan mahal, serta bertambah antrenya thobur di Masyikhah Azhar untuk taqdim minhahJ), hingga miliu akademis dan intelektual. Artinya mau diarahkan ke mana kader umat yang seribu orang jumlahnya itu. Ini bukan qodliyyah sepele, asset yang sangat berharga seperti mutiara itu sudah selayaknya mendapat ri’ayah ijtima’iyah, iqtishadiyah, ilmiyyah hingga ruhiyah/ da’awiyyah. Dahulu pada akhir tahun 1997, ketika pertama kali saya menjinakkan diri di Bumi Kinanah ini, saya juga sempat bertanya kenapa jumlah mahasiswa Indonesia lebih minim dari Malaysia yang populasi Muslim-nya tak sepadat penduduk Jawa Timur tapi mampu mengkaderkan 5000 mahasiswanya di Azhar sementara kita tidak sampai 2000 mahasiswa, saat itu. Ternyata permasalahannya tidak sesederhana yang saya bayangkan. Tahun-tahun depan saya prediksikan jumlah camaba akan lebih besar lagi, hal ini menuntut kita terutama pihak yang di Mesir (KBRI cq. Kantor Dikbud dan Konsuler, DPP PPMI dan Kekeluargaan) dengan Indonesia (DEPLU, DEPAG, hingga PEMDA) perlu melakukan koordinasi intensif. Tanggung jawab pembinaan dan ri’ayah camaba itu tidak hanya dibebankan pada PPMI yang tak lebih seperti “Kuli” tahunan, tapi juga pihak Pemerintah Indonesia turut bertanggungjawab dari proses pendaftaran hingga mereka kelar kuliah dan akan ditempatkan di pos-pos mana saja. Oke lah saya tidak akan menelaah hal itu lebih jauh, dan untuk pemetaan job deskripsi, yang jelas saya akan menyampaikan pandangan tentang ‘Ri’ayah ‘Ilmiyyah Akademiyyah’ tanpa meremehkan aspek ri’ayah yang lain.
***
Sistem belajar mengajar di kampus biru Al-Azhar tak ubahnya seperti pesantren tradisional ditambah dengan sistem klasikal. Visi al-Azhar yang dirumuskan para perintis, pengelola hingga alumninya adalah untuk menggali, preservasi dan revitalisasi, serta mereformulasi turats keilmuan Islam dalam konteks kehidupan yang terus berubah. Kalau diperas, tugas mulia al-Azhar adalah menjaga kelangsungan Alqur’an dan bahasa Arab, sebagai bahasa dan medium ajaran agama. Lebih lanjut mengenai risalah kehidupan al-Azhar, silahkan teman-teman mahasiswa baru membaca buku Risalat al-Azhar bayna al-Ams wa al-Yawm wa al-Ghad karya cendekiawan dan da’iyah terkemuka Dr. Yusuf al-Qardhawi.
***
Berkaitan dengan seluk beluk dan suka duka belajar di al-Azhar, diantara yang paling berkesan di hati mahasiswa adalah Muqarrar, diktat kuliah yang selalu dipegang erat dan menjadi khairu jalis pada masa-masa ujian di kampus. Walaupun pada prinsipnya saya tidak setuju dengan frasa “Mensiasati”, judul materi yang diajukan pihak panitia kepada kami. Seakan-akan diktat kuliah itu sesuatu yang menakutkan dan menyeramkan sehingga perlu di”jinak”kan dengan cara dan metode yang licik, siasat dan tipu daya. Tapi semoga bukan itu yang dimaksudkan panitia. Muqarrar, bagi penulis hanya sebagai alat tak lebih dari itu apalagi menjadi ghayah yang untuk meraihnya dihalalkan segala cara (al-Ghayatu Tubarrir al-Wasilah, pen.).
***
Belajar dan mengkaji muqarrar di al-Azhar berbeda dengan metode pengajaran di sekolah menengah ataupun presentasi di PT-PT Indonesia. Hal ini disebabkan:
Pertama, medium bahasanya adalah Arab. Penguasaan bahasa Arab yang baik menjadi prasyarat mutlak mengkaji diktat kuliah. Di sini tidak hanya unsur gramatika nahwu sharf saja yang diperhatikan tapi lebih dari itu kosa kata (mufradat) yang terkait dengan disiplin ilmu tertentu, belum lagi gaya penulisan dosen-dosen yang banyak memakai diksi ‘Balaghah’ sebagai penghias dan pemanis bibir. Artinya, dalam bebarapa mata kuliah tertentu, terkadang isi materi diktat sering dibungkus dengan gaya presentasi non-ilmiah. Tapi ini tidak mengurangi nilai substansi muqarrar tersebut. Paling tidak dengan gaya penulisan seperti itu sang dosen berharap dzawq dan ihsas bahasa Arab para mahasiswa terdongkrak. Hal lain yang patut menjadi perhatian bersama adalah metode penyampaian materi dengan uslub hiwar mengikuti alur diskusi para fuqaha dalam menyelesaikan suatu qadliyyah, seperti yang dikenal dengan metode “Âdâb al-Bahts wa al-Munâzharah”. Beberapa dosen yang masih mengikuti pola pendekatan ilmiah (yang sebenarnya klasik, tetapi hingga kini diafirmasi oleh gaya penulisan kontemporer) menjalankan metode “Naqdl”, atau istilah modernnya dekonstruksi, dan metode “Mu’aradlah”, yaitu rekonstruksi. Mahasiswa al-Azhar, dengan gaya penulisan ilmiah seperti itu, akan disuguhkan pemandangan yang “asyik” sekaligus “panas” mengikuti diskusi yang terjadi antara ulama dan pakar ilmu dengan menggelar dalil-dalil berikut penafisrannya menurut sudut pandang berbeda. Dengan pengalaman saya selama ini, sedikit menunjukkan kekeliruan pihak yang menyudutkan tamatan Azhar dengan stigma “miskin metodologi”. Stigmatisasi ini akan benar jika kita selaku Azhariyyun pasif dan tidak berupaya mengangkat metodologi pembelajaran al-Azhar ke permukaan.
Kedua, hafalkan al-Quran mulai sekarang juga. Karena misi utama al-Azhar adalah sebagai pemelihara al-Quran agar tetap eksis sepanjang zaman. Dari sini al-Azhar berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya baik negeri maupun swasta ada pada alokasi hifzul Qur’an-nya yang padat. Anda sebagai Azhariyyun harus menanamkan misi al-Azhar ini dalam setiap sanubarinya. Kata Grand Syeikh Sayyid Thantawi, jangan pernah mengaku Azhariy orang yang tidak menghafal al-Quran, ‘Laysa Azhariyyan Man lam Yahfazh al-Qur’an’. Karena dengan hifzul Qur’an dalam shudur dan suthur inilah al-Azhar dan pelajarnya disegani orang di seantero dunia. Oleh karena itu jadilah duta-duta Azhariy yang paten dengan menghafal Quran secara baik dan benar. Satu hal lagi yang menjadi kritikan saya kepada sesama teman Azhari, adalah tajwid-nya yang kurang sempurna. Menghafal Quran saja tidak cukup dan harus dilengkapi dengan cara baca/tajwid-nya yang benar. Kedua hal inilah, hifz dan tajwid, yang membuat Azhariyyun disegani di tengah masyarakat.
Paling tidak dicicil seandainya ujian Quran ada di term ke-dua. Hafalan al-Quran bagi banyak mahasiswa di sini sering menjadi batu sandungan. Entah kenapa, padahal saya yakin alokasi waktu tidur mereka dan chatting jauh lebih besar dari alokasi yang disediakan untuk menghafal al-Quran.
Ketiga, mengikuti jalannya perkuliahan dengan tekun, dan beradaptasi dengan lingkungan kampus baru. Kenali dengan baik ekosistem di sekitar anda. Jangan terpengaruh dengan mahasiswa lama yang jarang pergi ke kampus mengikuti perkuliahan. Paling tidak masa adaptasi mulai dari akomodasi sewa rumah, transportasi, selera makan, penyesuaian waktu lokal, kebiasaan para pegawai administrasi kampus beserta para tukang Syay, dan presentasi dosen yang sering memakai bahasa ‘Amiyyah membutuhkan waktu setahun penuh. Intinya kenali lingkungan anda sebaik mungkin, untuk dapat memposisikan diri dengan benar.
Keempat, hindari kebiasaan menunda waktu untuk terus belajar dan meningkatkan potensi diri, terutama penguasaan bahasa Arab. Ingat anda adalah pendatang baru. Akan terjadi masa transisi hebat mulai dari kebiasaan selera makan, transportasi hingga cara “mengunyah” muqarrar. Jangan samakan soal ujian yang akan keluar nanti sama dengan jenis soal yang pernah anda coba di almamater masing-masing, meski mungkin sama-sama berbahasa Arab. Gunakan setiap kesempatan yang ada seoptimal mungkin dan jangan disia-siakan.
Kelima, buatlah “schedule” belajar di rumah setelah mengikuti perkuliahan dengan teratur. Biasakan anda sudah membaca pasal, sub judul atau bab yang akan diterangkan oleh dosen keesokan harinya (dengan catatan jika diktat kuliah sudah turun). Pelajari dan siapkan diri anda untuk mata-mata kuliah yang akan disampaikan dosen. Jika waktu sudah mendekati Imtihan pusatkan perhatian pada pelajaran minimal 2 minggu dan maksimal 1 bulan menjelang ujian. Usahakan pada masa-masa itu semua mata kuliah sudah selesai anda baca dan fahami. Sehingga saat hari-hari H ujian, anda tinggal mereview pelajaran yang disampaikan sambil mempertimbangkan tekanan khusus pada kategori muqarrar yang muhimm jiddan, muhimm dan selanjutnya tanpa harus melupakan keseluruhan jangkauan materi secara umum.
Keenam, tanamkan dalam diri anda semangat untuk berprestasi. Pacu diri anda untuk nuqthoh bidayah ini agar tidak tinggal kelas alias rosib. Akan tetapi bagi yang telah berupaya maksimal tapi kemudian gagal, jangan berkecil hati dan terus berusaha memperbaiki dan introspeksi diri, jangan hanyut dan tenggelam dalam kegagalan itu. La Tay’asu min Rawhillah !! sebab Allah SWT, Rasul-Nya beserta orang mu’min lebih melihat nilai kesungguhan seorang hambanya untuk menggapai keridloan Ilahi.
Ketujuh, Idza ‘Azamta fa Tawakkal ‘ala-Llah. Bertawakallah pada Zat yang Maha Kuasa dan mintalah tambahan ilmu pada Zat yang Maha Berilmu dan Mengetahui, wa Qul Rabbi Zidni ‘Ilman.
Kedelapan, pertajam kembali visi Bina’ Ruhi sebagai mahasiswa al-Azhar calon da’iyah Ummat di masa depan. Gelorakan semangat bahwa anda adalah bagian utama dari elit dakwah dalam tubuh Ummat Islam ini, karena anda telah mengukuhkan dan mewakafkan diri anda sebagai thaifah yang bertafaqquh fi din untuk menyampaikan ilmu yang diperoleh untuk mensalehkan dan mengishlah kondisi Ummat.
Kesembilan, jalin dan pererat ukhuwah dengan sesama elemen Ummat. Jangan bersikap ekslusif, menutup diri dari pergaulan antar sesama saudara seiman dan seperjuangan. Jaket dan simbol ormas yang kita bawa, baik PERSIS, NU, Muhammadiyah dll jangan menjadikan kita tersekat dan terkotak-kotakkan. Insya Allah saya boleh optimis masa depan Islam di Indonesia bahkan di dunia akan lebih baik dan tercerahkan dengan antum semua yang bersatu padu merapatkan shaff untuk Izzul Islam wal Muslimin yang akan memberikan kontribusi besar bagi terciptanya kesejahteraan dan perdamaian dunia. Jadikan visi-misi al-Azhar sebagai platform dan “melting pot” agenda bersama para mahasiswa untuk dapat mewarnai masing-masing ormas Islam sekembalinya mereka kelak di Tanah Air. Tugas kita semua adalah menggali dan merekonseptualisasikan visi-misi al-Azhar untuk membenahi institusi, perangkat hukum, operasional produk kelembagaan ormas Islam dalam tatanan masyarakat muslim Indonesia.
***